Selasa, 27 Oktober 2015

Perjuangan Terhadap Ancaman Disintegrasi Bangsa . • Pemberontakan Andi Aziz • Pemberontakan Republik Maluku Selatan (RMS) • Pemberontakan PRRI dan Permersa


1.      PEMBERONTAKAN ANDI AZIS

                
Andi Aziz merupakan seorang mantan perwira KNIL. Pada tanggal 30 Maret 1950, ia bersama dengan pasukan KNIL di bawah komandonya menggabungkan diri ke dalam APRIS di hadapan Letnan Kolonel Ahmad Junus Mokoginta, Panglima Tentara dan Teritorium Indonesia Timur.
Pemberontakan dibawah pimpinan Andi Aziz  ini terjadi di Makassar diawali dengan adanya kekacauan di Sulawesi Selatan pada bulan April 1950. Kekacauan tersebut terjadi karena adanya demonstrasi dari kelompok masyarakat yang anti-federal, mereka mendesak NIT segera menggabungkan diri dengan RI. Sementara itu terjadi demonstrasi dari golongan yang mendukung terbentuknya Negara federal. Keadaan ini menyebabkan muncul kekacauan dan ketegangan di masyarakat.
Untuk menjaga keamanan maka pada tanggal 5 April 1950, pemerintah mengirimkan 1 batalion TNI dari Jawa. Kedatangan pasukan tersebut dipandang mengancam kedudukan kelompok masyarakat pro-federal. Selanjutnya kelompok pro-federal ini bergabung dan membentuk “Pasukan Bebas” di bawah pimpinan Kapten Andi Aziz. Ia menganggap masalah keamanan di Sulawesi Selatan menjadi tanggung jawabnya.

 
Pada 5 April 1950, pasukan Andi Aziz menyerang markas TNI di Makassar dan berhasil menguasainya bahkan Letkol Mokoginta berhasil ditawan. Bahkan Ir.P.D. Diapari (Perdana Mentri NIT) mengundurkan diri karena tidak setuju dengan tindakan Andi Aziz dan diganti Ir. Putuhena yang pro-RI. Tanggal 21 April 1950, Wali Negara NIT, Sukawati mengumumkan bahwa NIT bersedia bergabung dengan Negara Kesatuan Republik Indonesia.
Untuk mengatasi pemberontakan tersebut pemerintah pada tanggal 8 April 1950 mengeluarkan perintah bahwa dalam waktu 4 x 24 Jam Andi Aziz harus melaporkan diri ke Jakarta untuk mempertanggungjawabkan perbuatannya. Kepada pasukan yang terlibat pemberontakan diperintahkan untuk menyerahkan diri dan semua tawanan dilepaskan. Pada saat yang sama dikirim pasukan untuk melakukan operasi militer di Sulawesi Selatan yang dipimpin oleh A.E. Kawilarang.
Pada tanggal 15 April 1950 Andi Aziz berangkat ke Jakarta setelah didesak oleh Presiden NIT, Sukawati. Tetapi Andi Aziz terlambat melapor sehingga ia ditangkap dan diadili sedangkan pasukan yang dipimpin oleh Mayor H. V Worang terus melakukan pendaratan di Sulawesi Selatan. Pada 21 April 1950 pasukan ini berhasil menduduki Makassar tanpa perlawanan dari pasukan pemberontak.
Tanggal 26 April 1950, pasukan ekspedisi yang dipimpin A.E. Kawilarang mendarat di Sulawesi Selatan. Keamanan yang tercipta di Sulawesi Selatan tidak berlangsung lama karena keberadaan pasukan KL-KNIL yang sedang menunggu peralihan pasukan APRIS keluar dari Makassar. Mereka melakukan provokasi dan memancing bentrokan dengan pasukan APRIS.
Pertempuran antara APRIS dengan KL-KNIL terjadi pada 5 Agustus 1950. Kota Makassar pada waktu itu berada dalam suasana peperangan. APRIS berhasil memukul mundur pasukan lawan. Pasukan APRIS melakukan pengepungan terhadap tangsi-tangsi KNIL.

8 Agustus 1950, pihak KL-KNIL meminta untuk berunding ketika menyadari bahwa kedudukannya sudah sangat kritis.Perundingan dilakukan oleh Kolonel A.E Kawilarang dari pihak RI dan Mayor Jendral Scheffelaar dari KL-KNIL. Hasilnya kedua belah pihak setuju untuk dihentikannya tembak menembak dan dalam waktu dua hari pasukan KL-KNIL harus meninggalkan Makassar.

2.      PEMBERONTAKAN REPUBLIK MALUKU SELATAN (RMS)


Pemberontakan Republik Maluku Selatan (RMS) yang dipimpin oleh Mr. Dr. Christian Robert Steven Soumokil (mantan jaksa agung NIT) merupakan sebuah gerakan sparatisme yang bertujuan bukan hanya ingin memisahkan diri dari NIT melainkan untuk membentuk Negara sendiri terpisah dari RIS. Soumokil awalnya sudah terlibat dalam pemberontakan Andi Aziz akan tetapi dia dapat melarikan diri ke Maluku. Soumokil juga dapat memindahkan pasukan KNIL dan pasukan Baret Hijau dari Makasar ke Ambon. 


Pemberontakan Westerling, Andi Aziz, Soumokil memiliki kesamaan yaitu ketidakpuasan mereka terhadap proses kembalinya RIS ke Negara Kesatuan Republik Indonesia(NKRI). Pemberontakan yang ada menggunakan unsur KNIL yang merasa bahwa status mereka tidak pasti setelah KMB. 

Keberhasilan APRIS mengatasi keadaan membuat para pemuda semakin bersemangat untuk kembali ke NKRI. Akan tetapi terjadi banyak terror dan intimidasi kepada para pemuda terlebih setelah teror dibantu oleh anggota polisi yang telah dibantu KNIL bagian dari Korp Speciale Troepen yang dibentuk oleh Kapten Raymond Westerling di Batujajar dekat Bandung. Teror tersebut bahkan menyebabkan terjadinya pembunuhan. Benih sparatisme muncul dari para birokrat pemerintah daerah yang memprovokasi seperti dengan penggabungan wilayah Ambon ke NKRI mengandung bahaya sehingga seluruh rakyat Ambon diingatkan akan bahaya tersebut.
Pada 20 April 1950, diajukan mosi tidak percaya dalam parlemen NIT sehingga kabinet NIT meletakkan jabatannya dan akhirnya NIT dibubarkan dan bergabung ke dalam wilayah NKRI. Kegagalan pemberontakan Andi Aziz, menyebabkan berakhirlah pula Negara Indonesia Timur. Tetapi Soumokil tidak pantang menyerah untuk melepaskan Maluku Tengah dari wilayah NKRI. Bahkan dalam rapat di Ambon dengan pemuka KNIL dan Ir. Manusama, ia mengusulkan agar daerah Maluku Selatan dijadikan sebagai daerah merdeka. Jika perlu seluruh anggota Dewan Maluku Selatan dibunuh. Usul tersebut ditolak, karena anggota mengusulkan agar yang melakukan proklamasi kemerdekaan Maluku Selatan adalah Kepala Daerah Maluku Selatan, yaitu J. Manuhutu.
Sebelum diproklamasikannya “RMS” terlebih dahulu telah dilakukan propaganda pemisahan diri dari NKRI yang dilakukan oleh gubernur Sembilan Serangkai yang beranggotakan KNIL dan Partai Timur Besar. Sementara menjelang proklamasi RMS, Soumokil telah berhasil menghimpun kekuatan di lingkungan Maluku Tengah. Sementara itu, orang-orang yang menyatakan dukungannya terhadap NKRI diancam dan dipenjarakan. Akhirnya pada tanggal 25 April 1950 di Ambon diproklamasikan Republik Maluku Selatan (RMS) oleh Mr. Dr. Ch. R.S. Soumokil.
Pemerintah berusaha mengatasi masalah ini secara damai yaitu dengan mengirimkan misi damai yang dipimpin oleh tokoh asli Maluku, yaitu dr. Leimena. Namun misi ini ditolak oleh Soumokil. Misi damai yang dikirim selanjutnya terdiri dari para politikus, pendeta, dokter, wartawan pun tidak dapat bertemu dengan pengikut Soumokil.
Karena upaya damai mengalami jalan buntu maka pemerintah melakukan operasi militer untuk menumpas gerakan RMS yaitu Gerakan Operasi Militer (GOM)III yang dipimpin oleh Kolonel A.E. Kawilarang, Panglima Tentara dan Teritorium Indonesia Timur. Operasi berlangsung dari tanggal 14 Juli 1950, berhasil menguasai pos-pos penting di Pulau Buru, 19 Juli 1950 pasukan APRIS berhasil menguasai Pulau Seram. Pada tanggal 28 September 1950 Ambon bagian utara berhasil dikuasai. 3 November 1950 benteng Nieuw Victoria berhasil dikuasai. Dengan jatuhnya Ambon maka perlawanan RMS dapat dipatahkan dan sisa-sisa kekuatan RMS banyak yang melarikan diri ke Pulau Seram dan dalam beberapa tahun membuat serangkaian kekacauan.

3.      PEMBERONTAKAN PPRI DAN PERMESTA


Pemberontakan PPRI dan Permesta terjadi karena adanya ketidakpuasan beberapa daerah di Sumatra dan Sulawesi terhadap alokasi biaya pembangunan dari pemerintah pusat. Ketidakpuasan tersebut didukung oleh beberapa panglima militer. 

Selanjutnya mereka membentuk dewan-dewan militer daerah, seperti :
  1. Dewan Banteng di Sumatra Barat dipimpin oleh Kolonel Achmad Husein (Komandan Resimen Infanteri 4) dibentuk pada 20 Desember 1956
  2. Dewan Gajah di Medan dipimpin oleh Kolonel Maludin Simbolon, Panglima Tentara dan Teritorium I (TTI) pada tanggal 22 Desember 1956.
  3. Dewan Garuda di Sumatra Selatan dipimpin oleh Letkol Barlian.

Sementara itu di Indonesia bagian timur juga terjadi pergolakan. Tanggal 2 Maret 1957 di Makassar, Panglima TT VII Letkol Ventje Sumual memproklamasikan Piagam Perjoangan Rakyat Semesta (Permesta). Piagam tersebut ditandatangani oleh 51 tokoh. Wilayah gerakannya meliputi Sulawesi, Nusa Tenggara, dan Maluku. Untuk memperlancar gerakannya dinyatakan bahwa daerah Indonesia bagian timur dalam keadaan bahaya. Seluruh pemerintahan daerah diambil alih oleh militer pemberontak.

Untuk meredakan pergolakan di daerah maka pada tanggal 14 September 1957 dilaksanakan Musyawarah Nasional (Munas) yang dihadiri tokoh-tokoh nasional baik di pusat maupun di daerah. Membicarakan mengenai masalah pemerintahan, masalah daerah, ekonomi, keuangan, angkatan perang, kepartaian, serta masalah dwitunggal Soekarno-Hatta. Sebagai tindak lanjut Munas maka diselenggarakan Musyawarah Nasional Pembangunan (Munap) yang bertempat di Gedung Olah raga Medan Merdeka Selatan Jakarta. Dengan Tujuan merumuskan usaha-usaha pembangunan sesuai dengan keinginan daerah-daerah. Untuk membantu mengatasi persoalan di lingkungan Angkatan Darat dibentuklah panitia Tujuh, akan tetapi sebelum panitia tujuh mengumumkan hasil pekerjaannya terjadilah peristiwa Cikini.
Peristiwa Cikini ini semakin memperburuk keadaan di Indonesia. Daerah-daerah yang bergejolak semakin menunjukkan jati dirinya sebagai gerakan melepaskan diri dari pemerintah pusat. Bahkan pada tanggal 9 Januari 1958 diselenggarakan pertemuan di Sumatra Barat yang dihadiri tokoh-tokoh sipil dan militer daerah. Pada 10 Januari 1958 diselenggarakan rapat raksasa di Padang. Dalam pidatonya, Ketua Dewan Banteng, Achmad Husein menyampaikan ultimatum kepada pemerintah pusat yang berisi.
1.    Dalam waktu 5 x 24 jam kabinet Djuanda menyerahkan mandat kepada presiden.
2.   Presiden menugaskan kepada Moh. Hatta dan Sultan Hamengkubuwono IX untuk membentuk Zaken Kabinet.
3.   Meminta presiden kembali kepada kedudukannya sebagai Presiden Konstitusional.


Menanggapi ultimatum tersebut, Sidang Dewan Menteri memutuskan untuk menolaknya dan memecat secara tidak terhormat perwira-perwira TNI-AD yang duduk dalam pimpinan gerakan sparatis, yaitu Letkol Achmad Husein, Kolonel Zulkifli Lubis, Kolonel Dachlan Djambek, dan Kolonel Simbolon. Pada 12 Februari 1958, KSAD A.H Nasution mengeluarkan perintah untuk membekukan Kodim Sumatra Tengah dan selanjutnya dikomando langsung oleh KSAD.
Sementara itu pada, 15 Februari 1958, Achmad Husein memproklamasikan berdirinya Pemerintahan Revolusioner Republik Indonesia (PRRI) dengan Syarifudin Prawiranegara sebagai perdana menterinya. Proklamasi PRRI mendapatkan sambutan dari Indonesia bagian Timur. Dalam rapat-rapat raksasa yang dilaksanakan di beberapa daerah Komando Daerah Militer Sulawesi Utara dan Tengah, Kolonel D. J Somba mengeluarkan pernyataan bahwa sejak tanggal 17 Februari 1958 Kodim Sulawesi Utara dan Tengah (KDMSUT) menyatakan putus hubungan dengan pemerintah pusat dan mendukung PRRI.
Untuk memulihkan keamanan Negara, pemerintah bersama dengan KSAD memutuskan untuk melakukan operasi militer. Operasi gabungan AD-AL-AU terhadap PRRI ini diberi nama Operasi 17 Agustus yang dipimpin oleh Letnan Kolonel Ahmad Yani. Operasi pertama kali ditujukan ke Pekanbaru untuk mengamankan sumber-sumber minyak. Pada tanggal 14 Maret 1958 Pekanbaru berhasil dikuasai. Operasi militer kemudian dikembangkan ke pusat pertahanan PRRI. Pada tanggal 4 Mei 1958 Bukittinggi berhasil direbut kembali. Selanjutnya, pasukan TNI membersihkan daerah-daerah bekas kekuasaan PRRI. Banyak anggota PRRI yang melarikan diri ke hutan-hutan.
Untuk mengatasi pemberontakan PERMESTA, KSAD sebagai Penguasa Perang Pusat memecat Kolonel Somba dan Mayor Runturambi, sedangkan Batalion yang berada di bawah KDMSUT diserahkan kepada Komando Antardaerah Indonesia Timur. Untuk menumpas aksi Permesta, pemerintah melancarkan operasi gabungan yang disebut Operasi Merdeka yang dipimpin oleh Letkol Rukminto Hendraningrat pada bulan April 1958. Gerakan Permesta diduga mendapat bantuan dari petualang asing terbukti dengan jatuhnya pesawat yang dikemudikan oleh A.L. Pope (seorang warganegara Amerika) yang tertembak jatuh di Ambon pada 18 Mei 1958. Pada 29 Mei 1961, Achmad Husein menyerahkan diri. Pada pertengahan tahun 1961 tokoh-tokoh Permesta juga menyerahkan diri.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar