1. PEMBERONTAKAN ANDI AZIS
Andi Aziz
merupakan seorang mantan perwira KNIL. Pada tanggal 30 Maret 1950, ia bersama
dengan pasukan KNIL di bawah komandonya menggabungkan diri ke dalam APRIS di
hadapan Letnan Kolonel Ahmad Junus Mokoginta, Panglima Tentara dan Teritorium
Indonesia Timur.
Pemberontakan dibawah
pimpinan Andi Aziz ini terjadi di Makassar diawali dengan adanya
kekacauan di Sulawesi Selatan pada bulan April 1950. Kekacauan tersebut terjadi
karena adanya demonstrasi dari kelompok masyarakat yang anti-federal, mereka
mendesak NIT segera menggabungkan diri dengan RI. Sementara itu terjadi
demonstrasi dari golongan yang mendukung terbentuknya Negara federal. Keadaan
ini menyebabkan muncul kekacauan dan ketegangan di masyarakat.
Untuk
menjaga keamanan maka pada tanggal 5 April 1950, pemerintah mengirimkan 1
batalion TNI dari Jawa. Kedatangan pasukan tersebut dipandang mengancam
kedudukan kelompok masyarakat pro-federal. Selanjutnya kelompok pro-federal ini
bergabung dan membentuk “Pasukan Bebas” di bawah pimpinan Kapten Andi Aziz. Ia
menganggap masalah keamanan di Sulawesi Selatan menjadi tanggung jawabnya.
Pada
5 April 1950, pasukan Andi Aziz menyerang markas TNI di Makassar dan berhasil
menguasainya bahkan Letkol Mokoginta berhasil ditawan. Bahkan Ir.P.D. Diapari
(Perdana Mentri NIT) mengundurkan diri karena tidak setuju dengan tindakan Andi
Aziz dan diganti Ir. Putuhena yang pro-RI. Tanggal 21 April 1950, Wali Negara
NIT, Sukawati mengumumkan bahwa NIT bersedia bergabung dengan Negara Kesatuan
Republik Indonesia.
Untuk
mengatasi pemberontakan tersebut pemerintah pada tanggal 8 April 1950
mengeluarkan perintah bahwa dalam waktu 4 x 24 Jam Andi Aziz harus melaporkan
diri ke Jakarta untuk mempertanggungjawabkan perbuatannya. Kepada pasukan yang
terlibat pemberontakan diperintahkan untuk menyerahkan diri dan semua tawanan
dilepaskan. Pada saat yang sama dikirim pasukan untuk melakukan operasi militer
di Sulawesi Selatan yang dipimpin oleh A.E. Kawilarang.
Pada tanggal 15 April 1950 Andi Aziz
berangkat ke Jakarta setelah didesak oleh Presiden NIT, Sukawati. Tetapi Andi
Aziz terlambat melapor sehingga ia ditangkap dan diadili sedangkan pasukan yang
dipimpin oleh Mayor H. V Worang terus melakukan pendaratan di Sulawesi Selatan.
Pada 21 April 1950 pasukan ini berhasil menduduki Makassar tanpa perlawanan
dari pasukan pemberontak.
Tanggal
26 April 1950, pasukan ekspedisi yang dipimpin A.E. Kawilarang mendarat di
Sulawesi Selatan. Keamanan yang tercipta di Sulawesi Selatan tidak berlangsung
lama karena keberadaan pasukan KL-KNIL yang sedang menunggu peralihan pasukan
APRIS keluar dari Makassar. Mereka melakukan provokasi dan memancing bentrokan
dengan pasukan APRIS.
Pertempuran
antara APRIS dengan KL-KNIL terjadi pada 5 Agustus 1950. Kota Makassar pada
waktu itu berada dalam suasana peperangan. APRIS berhasil memukul mundur
pasukan lawan. Pasukan APRIS melakukan pengepungan terhadap tangsi-tangsi KNIL.
8
Agustus 1950, pihak KL-KNIL meminta untuk berunding ketika menyadari bahwa
kedudukannya sudah sangat kritis.Perundingan dilakukan oleh Kolonel A.E
Kawilarang dari pihak RI dan Mayor Jendral Scheffelaar dari KL-KNIL. Hasilnya
kedua belah pihak setuju untuk dihentikannya tembak menembak dan dalam waktu
dua hari pasukan KL-KNIL harus meninggalkan Makassar.
2. PEMBERONTAKAN REPUBLIK MALUKU SELATAN (RMS)
Pemberontakan
Republik Maluku Selatan (RMS) yang dipimpin oleh Mr. Dr. Christian Robert
Steven Soumokil (mantan jaksa agung NIT) merupakan sebuah gerakan
sparatisme yang bertujuan bukan hanya ingin memisahkan diri dari NIT melainkan
untuk membentuk Negara sendiri terpisah dari RIS. Soumokil awalnya sudah
terlibat dalam pemberontakan Andi Aziz akan tetapi dia dapat melarikan diri ke
Maluku. Soumokil juga dapat memindahkan pasukan KNIL dan pasukan Baret Hijau
dari Makasar ke Ambon.
Pemberontakan
Westerling, Andi Aziz, Soumokil memiliki kesamaan yaitu ketidakpuasan mereka
terhadap proses kembalinya RIS ke Negara Kesatuan Republik Indonesia(NKRI).
Pemberontakan yang ada menggunakan unsur KNIL yang merasa bahwa status mereka
tidak pasti setelah KMB.
Keberhasilan
APRIS mengatasi keadaan membuat para pemuda semakin bersemangat untuk kembali
ke NKRI. Akan tetapi terjadi banyak terror dan intimidasi kepada para pemuda
terlebih setelah teror dibantu oleh anggota polisi yang telah dibantu KNIL
bagian dari Korp Speciale Troepen yang dibentuk oleh Kapten Raymond
Westerling di Batujajar dekat Bandung. Teror tersebut bahkan menyebabkan
terjadinya pembunuhan. Benih sparatisme muncul dari para birokrat pemerintah
daerah yang memprovokasi seperti dengan penggabungan wilayah Ambon ke NKRI
mengandung bahaya sehingga seluruh rakyat Ambon diingatkan akan bahaya
tersebut.
Pada
20 April 1950, diajukan mosi tidak percaya dalam parlemen NIT sehingga kabinet
NIT meletakkan jabatannya dan akhirnya NIT dibubarkan dan bergabung ke dalam
wilayah NKRI. Kegagalan pemberontakan Andi Aziz, menyebabkan berakhirlah pula
Negara Indonesia Timur. Tetapi Soumokil tidak pantang menyerah untuk melepaskan
Maluku Tengah dari wilayah NKRI. Bahkan dalam rapat di Ambon dengan pemuka KNIL
dan Ir. Manusama, ia mengusulkan agar daerah Maluku Selatan dijadikan sebagai
daerah merdeka. Jika perlu seluruh anggota Dewan Maluku Selatan dibunuh. Usul
tersebut ditolak, karena anggota mengusulkan agar yang melakukan proklamasi
kemerdekaan Maluku Selatan adalah Kepala Daerah Maluku Selatan, yaitu J.
Manuhutu.
Sebelum
diproklamasikannya “RMS” terlebih dahulu telah dilakukan propaganda pemisahan
diri dari NKRI yang dilakukan oleh gubernur Sembilan Serangkai yang
beranggotakan KNIL dan Partai Timur Besar. Sementara menjelang proklamasi RMS,
Soumokil telah berhasil menghimpun kekuatan di lingkungan Maluku Tengah.
Sementara itu, orang-orang yang menyatakan dukungannya terhadap NKRI diancam
dan dipenjarakan. Akhirnya pada tanggal 25 April 1950 di Ambon diproklamasikan Republik
Maluku Selatan (RMS) oleh Mr. Dr. Ch. R.S. Soumokil.
Pemerintah
berusaha mengatasi masalah ini secara damai yaitu dengan mengirimkan misi damai
yang dipimpin oleh tokoh asli Maluku, yaitu dr. Leimena. Namun misi ini ditolak
oleh Soumokil. Misi damai yang dikirim selanjutnya terdiri dari para politikus,
pendeta, dokter, wartawan pun tidak dapat bertemu dengan pengikut Soumokil.
Karena
upaya damai mengalami jalan buntu maka pemerintah melakukan operasi militer
untuk menumpas gerakan RMS yaitu Gerakan Operasi Militer (GOM)III yang dipimpin
oleh Kolonel A.E. Kawilarang, Panglima Tentara dan Teritorium Indonesia Timur.
Operasi berlangsung dari tanggal 14 Juli 1950, berhasil menguasai pos-pos
penting di Pulau Buru, 19 Juli 1950 pasukan APRIS berhasil menguasai Pulau
Seram. Pada tanggal 28 September 1950 Ambon bagian utara berhasil dikuasai. 3
November 1950 benteng Nieuw Victoria berhasil dikuasai. Dengan jatuhnya
Ambon maka perlawanan RMS dapat dipatahkan dan sisa-sisa kekuatan RMS banyak
yang melarikan diri ke Pulau Seram dan dalam beberapa tahun membuat serangkaian
kekacauan.
3. PEMBERONTAKAN PPRI DAN PERMESTA
Pemberontakan
PPRI dan Permesta terjadi karena adanya ketidakpuasan beberapa daerah di
Sumatra dan Sulawesi terhadap alokasi biaya pembangunan dari pemerintah pusat.
Ketidakpuasan tersebut didukung oleh beberapa panglima militer.
Selanjutnya
mereka membentuk dewan-dewan militer daerah, seperti :
- Dewan Banteng di Sumatra Barat dipimpin oleh Kolonel Achmad Husein (Komandan Resimen Infanteri 4) dibentuk pada 20 Desember 1956
- Dewan Gajah di Medan dipimpin oleh Kolonel Maludin Simbolon, Panglima Tentara dan Teritorium I (TTI) pada tanggal 22 Desember 1956.
- Dewan Garuda di Sumatra Selatan dipimpin oleh Letkol Barlian.
Sementara itu di
Indonesia bagian timur juga terjadi pergolakan. Tanggal 2 Maret 1957 di Makassar,
Panglima TT VII Letkol Ventje Sumual memproklamasikan Piagam Perjoangan
Rakyat Semesta (Permesta). Piagam tersebut ditandatangani oleh 51 tokoh.
Wilayah gerakannya meliputi Sulawesi, Nusa Tenggara, dan Maluku. Untuk
memperlancar gerakannya dinyatakan bahwa daerah Indonesia bagian timur dalam
keadaan bahaya. Seluruh pemerintahan daerah diambil alih oleh militer
pemberontak.
Untuk
meredakan pergolakan di daerah maka pada tanggal 14 September 1957 dilaksanakan
Musyawarah Nasional (Munas) yang dihadiri tokoh-tokoh nasional baik di pusat
maupun di daerah. Membicarakan mengenai masalah pemerintahan, masalah daerah,
ekonomi, keuangan, angkatan perang, kepartaian, serta masalah dwitunggal
Soekarno-Hatta. Sebagai tindak lanjut Munas maka diselenggarakan Musyawarah
Nasional Pembangunan (Munap) yang bertempat di Gedung Olah raga Medan Merdeka
Selatan Jakarta. Dengan Tujuan merumuskan usaha-usaha pembangunan sesuai dengan
keinginan daerah-daerah. Untuk membantu mengatasi persoalan di lingkungan
Angkatan Darat dibentuklah panitia Tujuh, akan tetapi sebelum panitia tujuh
mengumumkan hasil pekerjaannya terjadilah peristiwa Cikini.
Peristiwa
Cikini ini semakin memperburuk keadaan di Indonesia. Daerah-daerah yang
bergejolak semakin menunjukkan jati dirinya sebagai gerakan melepaskan diri
dari pemerintah pusat. Bahkan pada tanggal 9 Januari 1958 diselenggarakan
pertemuan di Sumatra Barat yang dihadiri tokoh-tokoh sipil dan militer daerah.
Pada 10 Januari 1958 diselenggarakan rapat raksasa di Padang. Dalam pidatonya,
Ketua Dewan Banteng, Achmad Husein menyampaikan ultimatum kepada pemerintah
pusat yang berisi.
1.
Dalam waktu 5 x 24 jam kabinet Djuanda menyerahkan mandat kepada presiden.
2.
Presiden menugaskan kepada Moh. Hatta dan Sultan Hamengkubuwono IX untuk
membentuk Zaken Kabinet.
3.
Meminta presiden kembali kepada kedudukannya sebagai Presiden Konstitusional.
Menanggapi
ultimatum tersebut, Sidang Dewan Menteri memutuskan untuk menolaknya dan
memecat secara tidak terhormat perwira-perwira TNI-AD yang duduk dalam pimpinan
gerakan sparatis, yaitu Letkol Achmad Husein, Kolonel Zulkifli Lubis, Kolonel
Dachlan Djambek, dan Kolonel Simbolon. Pada 12 Februari 1958, KSAD A.H Nasution
mengeluarkan perintah untuk membekukan Kodim Sumatra Tengah dan selanjutnya
dikomando langsung oleh KSAD.
Sementara
itu pada, 15 Februari 1958, Achmad Husein memproklamasikan berdirinya Pemerintahan
Revolusioner Republik Indonesia (PRRI) dengan Syarifudin Prawiranegara
sebagai perdana menterinya. Proklamasi PRRI mendapatkan sambutan dari Indonesia
bagian Timur. Dalam rapat-rapat raksasa yang dilaksanakan di beberapa daerah
Komando Daerah Militer Sulawesi Utara dan Tengah, Kolonel D. J Somba
mengeluarkan pernyataan bahwa sejak tanggal 17 Februari 1958 Kodim Sulawesi
Utara dan Tengah (KDMSUT) menyatakan putus hubungan dengan pemerintah pusat dan
mendukung PRRI.
Untuk
memulihkan keamanan Negara, pemerintah bersama dengan KSAD memutuskan untuk
melakukan operasi militer. Operasi gabungan AD-AL-AU terhadap PRRI ini diberi
nama Operasi 17 Agustus yang dipimpin oleh Letnan Kolonel Ahmad Yani.
Operasi pertama kali ditujukan ke Pekanbaru untuk mengamankan sumber-sumber
minyak. Pada tanggal 14 Maret 1958 Pekanbaru berhasil dikuasai. Operasi militer
kemudian dikembangkan ke pusat pertahanan PRRI. Pada tanggal 4 Mei 1958
Bukittinggi berhasil direbut kembali. Selanjutnya, pasukan TNI membersihkan
daerah-daerah bekas kekuasaan PRRI. Banyak anggota PRRI yang melarikan diri ke
hutan-hutan.
Untuk
mengatasi pemberontakan PERMESTA, KSAD sebagai Penguasa Perang Pusat memecat
Kolonel Somba dan Mayor Runturambi, sedangkan Batalion yang berada di bawah
KDMSUT diserahkan kepada Komando Antardaerah Indonesia Timur. Untuk menumpas
aksi Permesta, pemerintah melancarkan operasi gabungan yang disebut Operasi
Merdeka yang dipimpin oleh Letkol Rukminto Hendraningrat pada bulan April
1958. Gerakan Permesta diduga mendapat bantuan dari petualang asing terbukti
dengan jatuhnya pesawat yang dikemudikan oleh A.L. Pope (seorang warganegara
Amerika) yang tertembak jatuh di Ambon pada 18 Mei 1958. Pada 29 Mei 1961,
Achmad Husein menyerahkan diri. Pada pertengahan tahun 1961 tokoh-tokoh Permesta
juga menyerahkan diri.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar